Monday, August 24, 2009

Namaku Si Pincang


Suatu Minggu sore di Kota Jakarta.
Sinar matahari yang tadi siang menyorot dengan marahnya seketika melunak dengan cahaya kuning lembut. Angin menggugurkan daun-daunan kering di sepanjang Jalan Menteng. Dedaunan kuning kering berserak di sepanjang jalan raya itu. Terkadang dedaunan beterbangan ke udara ketika ada mobil ngebut melintas. Pohon-pohon besar seolah senang melihat daun-daun keringnya terombang ambing ditiup angin. Hembusan angin kecil saya membuat para pohon berpartisipasi menghujani daun-daun kuning kecil ke aspal.
Ternyata hujan salju daun itu menarik minat seekor anjing kecil. Anjing kampung yang tampak kumal itu ikut berlompatan tergopoh-gopoh berusaha menangkap dedaunan yang berjatuhan. Anjing itu berwarna coklat dengan bulu pendek dan ada ruas-ruas warna putih di sekitar kepalanya. Umur si anjing kelihatannya baru sekitar 3 bulan.
"Wof!!" si anjing kecil mencoba melompat lagi namun malah terguling di trotoar yang kini sudah dipenuhi sampah daun. Ternyata salah satu kaki depan si anjing terluka dan membuatnya pincang. Meski dalam keadaan pincang, ia tetap penuh semangat berusaha menangkap dedaunan yang berguguran. Lidah nya terjulur dan ekornya berkibas-kibas riang.
Beberapa mobil dan bus kota melintas tidak memperdulikan si pincang kecil yang bermain-main di pinggir trotoar. Sekelompok burung pipit bersama-sama hinggap di sebuah bench yang kosong. Burung-burung tidak merasa terancam dengan keasikan Si Pincang yang kini berguling-guling di atas rumput kering sambil keempat kakinya menghadap ke atas seolah minta seseorang untuk menggelitik perutnya. Pincang bahagia sekali rumput kering itu memberi sensasi menggaruk punggungnya yang gatal. Saat tengah asik berguling-guling tiba-tiba sebuah batu melesat mengenai perut Pincang. Pincang mendengking kaget dan langsung bangun mencari-cari sumber serangan. Belum sempat sadar tiba-tiba batu kedua mengenai kepala Si Pincang kecil. "Kaiiing!", Pincang menjerit dan mulai berlari tergopoh-gopoh karena kaki depannya yang cacat. Beberapa anak remaja yang ternyata pelaku lempar batu tadi kembali menghujani Pincang dengan kerikil-kerikil yang mereka lemparkan tepat ke arah Pincang yang kocar-kacir ketakutan. Tidak puas dengan kerikil, salah satu dari mereka melemparkan batang kayu sebesar lengan orang dewasa. Batang kayu itu meleset mengenai Si Pincang. Pincang memaksakan dirinya untuk berlari di sepanjang trotoar. Cakar-cakar kecilnya berkeresak ketika dia berlari menginjak dedaunan kering yang sejenak tadi sempat jadi taman bermainnya. Pincang ketakutan sekali, dia tidak berhenti berlari. Jantungnya berdegup diikuti nafasnya yang terengah-engah. Ini bukan perlakuan hina pertama kali yang diterima Pincang. Sudah sering ia bertemu manusia-manusia yang berusaha menyakitinya. Ada yang menyiramnya dengan air dingin, melempar batu, mengikat kakinya dengan tali sehingga tidak bisa berjalan, sampai mengangkatnya dan menceburkan ke got hingga basah kuyup. Kaki depannya yang pincang juga disebabkan ia tergilas si roda dua saat berlari berlari menghindar serangan manusia-manusia yang jahat.
Pincang sudah jauh meninggalkan anak-anak berandal tadi. Ia tiba di tempat persembunyiannya yang selama ini jadi tempat tinggalnya yang nyaman; sebuah bangunan tua. Bangunan itu sudah tidak dihuni. Rumput tinggi memenuhi halaman depan bangunan. Beberapa kaca jendela sudah pecah dan langit-langitnya mau lepas di sana sini. Bangunan dikelilingi oleh seng yang tinggi. Pincang masuk melalui celah kecil tersembunyi antara seng dan tanah. Pincang langsung berlari kecil masuk ke dalam rumah tua tak bertuan itu. Rumah kosong itu kotor dan tidak terurus. Sebuah kursi kayu yang sudah patah tergeletak di lantai. Serpihan kaca berserakan di lantai. Pincang berjalan menghindari serpihan itu menusuk kakinya. Di dalam rumah Pincang ternyata sudah memiliki kamar favorit. Ada sebuah lemari yang di buat di bawah tangga. Sepertinya dulu lemari ini adalah tempat menyimpan buku dan majalah bekas. Dengan sentuhan moncong mungilnya Pincang berhasil membuka pintu lemari dan masuk ke dalam lemari tangga. Pincang membaringkan tubuhnya yang kelelahan di atas tumpukan koran bekas. Nafasnya sudah tidak terengah-engah, lalu ia mulai menjilati tubuhnya yang tadi dilempari batu. Pincang menguik pelan mengenang induknya yang dulu sering menjilatinya. Kalau saja mobil itu tidak menabrak ibunya, tentunya Pincang bisa beristirahat bersama ibunya dengan nyaman di rumah kosong ini, pikirnya.
Ruangan itu sudah mulai gelap. Sinar matahari menyusut pergi meninggalkan bayangan-bayangan panjang. Pincang menggigit dan menyeret sehelai kain di dekatnya berusaha menjadikan kain itu sebagai selimut.

No comments:

Post a Comment