Tuesday, October 14, 2014

Enggan Pulang

Malam ini kawasan Braga ramai seperti biasanya. Beberapa kelompok orang berjalan sambil bercerita dengan antusias. Tidak sedikit turis asing yang lalu lalang di sekitar Braga Citywalk. Jalan raya masih mengkilat karena basah habis diguyur hujan deras. Udara dingin malam ini melengkapi nikmatnya Kota Bandung.
Saya baru saja melangkahkan kaki keluar dari Gold's Gym Braga. Keringat masih menitik di dahi saya meski saya sudah membasuh tubuh di ruang ganti. Gymnasium juga dipenuhi orang-orang yang bermimpi memiliki tubuh bak model. Sebagian dari mereka berhasil, sementara sebagian lainnya hanya menjadi member demi memenuhi syarat hidup sehat modern masa kini, memiliki kartu member gym.
Udara yang dingin malam itu membuat beberapa orang terlihat mengenakan jaket tebal. Langit tidak menampakkan bintang. Jalan raya masih dipenuhi kendaraan orang-orang yang berlomba menuju pulang. Jam tangan saya memperlihatkan masih pukul 19.00. Enggan rasanya pulang. Enggan berdiam di rumah. Jika malam ini pulang ke rumah lebih awal, saya berarti memberikan kesempatan pikiran saya dipenuhi macam-macam prasangka dan itu akan membuat saya sesak nafas.
Akhirnya saya memutuskan untuk mampir ke Starbucks Braga. Kebetulan saya ingat punya voucher mendapat minuman gratis ukuran tall. Saya pun memesan Dark Mocha dan satu slice New York Cheesecake kemudian duduk di salah satu kursi di pojok. Saya mengambil koran Kompas di dekat meja kasir, menyeruput kafein dingin dan mulai membacanya.
Malam ini saya menikmati kesendirian di Starbucks Braga. Membaca koran, dan memperhatikan orang yang lalu lalang membeli kopi. Kemacetan di luar masih berlangsung. Setidaknya malam ini saya bisa mengalihkan pikiran yang kacau ini.

Sunday, October 12, 2014

Sakit dan Pahit

Sekali lagi hidup ini menampar saya dengan keras. Membangunkan saya dari mimpi. Meremukan khayalan. Memupuskan cita dan keinginan.

Semula semua tampak akan kembali berjalan baik. Saya kira semua bisa bisa dimulai kembali dari awal. Saya pun sudah siap menerima kebahagiaan-kebahagiaan baru.

Namun apa yang saya harapkan tidak demikian. Kenyataan tidak berpihak kepada saya. Dalam kurang dari 30 hari, hidup ini terasa seperti menghantam saya bertubi-tubi. Harapan yang sudah saya idamkan bisa tumbuh besar dan rindang, kini tinggal seperti pohon yang rantingnya kering menunggu daun terakhirnya jatuh ke tanah dan mati.

Saya kembali diingatkan, kembali menerima dejavu-dejavu yang berusaha menyampaikan pesan bahwa apa yang saya inginkan dan rencanakan semua bisa lenyap begitu saja. Keinginan saya seolah terlalu rapuh dan mudah diterbangkan angin. Meninggalkan saya dalam ketidakberdayaan.

Pagi ini matahari sebenarnya bersinar hangat. Namun yang saya rasakan hanya dingin yang kering dan terasa sesak seperti memeluk kehampaan. Saya tidak bisa berpikir jernih. Keruh. Tubuh ini seperti zombie yang sedang dipermainkan situasi.

Saya merasa seperti dicekik dan dibuat sulit bernafas. Saya berusaha berteriak kenapa ini bisa menimpa kepada kami? Kenapa Tuhan tega? Kenapa Tuhan membiarkan?

Saya tahu bahwa saya tidak akan mendapat jawaban secara langsung. Saya hanya memaksakan diri untuk menarik nafas dalam-dalam. Berharap saya bisa baik-baik saja. Berharap dia pun akan baik-baik saja. Berharap kami masih bisa bertemu lagi.

Jadi ini rasanya ditinggalkan. Sakit dan pahit sekali rasanya.