Saturday, October 22, 2011

Hidup Yang Tak Bisa Diduga

Gambar dari diambil dari website ini

Pagi ini saya kembali nongkrong di Bober Cafe. Hari Sabtu ini saya libur. Dengan maksud menikmati internet dengan lancar tanpa keluhan koneksi lambat, saya memutuskan ke Bober ini. Sekaligus merapikan beberapa postingan blog sebelumnya.

Cuaca di Bandung hari ini berawan. Matahari bersinar tidak terlalu terik. Saya duduk di salah satu kursi yang teduh dekat dengan colokan listrik. Bober yang buka 24 jam ini pagi hari masih sepi. Hanya ada 3 pengunjung. Beberapa waiter yang biasa membantu melayani tamu tampak duduk-duduk santai menonton tv. 

Saya memesan mix omelette dan secangkir hot chocolate. Sambil menunggu pesanan diantar ke meja saya, saya mulai mengeluarkan Macbook, charger, dan rokok. Saya pun duduk santai bersender di kursi kayu Bober yang keras tidak ada bantalan duduknya. Mirip kursi sekolah saya dulu tapi ini lebih antik. Saya menyulut Marlboro black menthol dan langsung menghembuskan hisapan pertamanya dengan nafas yang panjang. Asap rokok meluncur ke udara di sekitar saya terbang membaur dengan udara lainnya. Lantunan lagu Superman dari Five For Fighting terdengar dari speaker di Bober. 

"I’m only a man
In a funny red sheet
I’m only a man
Looking for a dream..."



Saya menghisap rokok lagi, menghembuskan asapnya sambil menatap lalu lintas Jalan Riau Bandung yang masih belum padat. Seorang tukang sampah tampak menyeret gerobak sampah yang berwarna kuning kumal ditemani seorang temannya yang sibuk memungut sampah di jalanan dan dilemparkannya ke dalam gerobak.

Masih teringat kemarin sore saya menyampaikan rencana pengunduran diri saya kepada atasan. Mengungkapkan bahwa saya mengambil sebuah keputusan berupa resign dari perusahaan yang telah 7 tahun lebih menjadi tempat saya mencari nafkah. Teringat bahwa saya mengungkapkan rencana itu dengan suara yang bergetar. Bergetar karena saya sendiri tidak menyangka keputusan ini begitu cepat saya ambil. Kuputusan ini saya ambil hanya dua hari setelah kepulangan saya dari Bali.

Resign. Berhenti bekerja. Melunasi semua kewajiban kepada perusahaan. Tidak menerima gaji lagi. Nekat. Nekat. Nekat. 

Saya menyentilkan jari ke batang rokok untuk menjatuhkan abu rokok yang mulai memanjang di ujung rokok saya lalu kembali menikmati nikotin menthol. Sensasi dingin menthol mengisi tenggorokan dan hidung saya. Teringat baru saja sebulan lalu saya pindah dari Sukabumi ke Bandung dan mengontrak rumah untuk saya dan Ibu saya. Teringat bahwa tujuan saya mengontrak rumah di Bandung adalah supaya bisa kembali serumah bersama Ibu saya yang selama setengah tahun terakhir ini ditinggal sendirian di Sukabumi. Teringat saya merelakan rumah di Sukabumi dikontrakkan kepada orang lain lalu saya harus mengontrak rumah di Bandung dengan harga yang jauh lebih mahal. Dan saya sekarang memutuskan resign dari perusahaan dan berencana untuk meninggalkan Bandung untuk mengadu peruntungan dengan berwirausaha.

Berwirausaha. Bisakah? Seperti apa rasanya? Bagaimana? Entah. Saya tidak tahu. Keputusan berwirausaha itu meluncur begitu saja di pikiran saya. Apakah saya sadar dalam mengambil keputusan ini? Ya. Saya sadar. Sangat sadar. 

Keputusan besar dan merupakan keputusan terberat saya sepanjang saya hidup. Saya dengan berat harus melepaskan diri dari sebuah perusahaan yang telah saya nikmati madunya melalui penghasilan dan fasilitas yang saya terima. Kini perusahaan tersebut telah berubah. Perusahaan tersebut telah menjelma seolah menjadi penguasa rakus. Perusahaan yang diisi oleh orang-orang yang menjadi korban perbudakan. Orang-orang itu diperbudak dengan target-target fantastis dan mereka pun memperbudak lagi anak buah di bawahnya. 

Saya kembali menghisap rokok. Menghembuskan asapnya perlahan.

Saya mungkin bisa dibilang menyerah kepada keadaan ini. Saya menyerah terhadap target-target perusahaan dan menyerah terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan yang kurang berpihak kepada karyawannya. Ya. Itu benar. Saya menyerah dan tidak sanggup. Saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mesra dengan perusahaan yang kini tidak seromantis dulu. Mungkin beberapa orang akan mengatai bahwa keputusan saya ini konyol dan tergesa-gesa. Biarlah. Saya cuma mau menghapus rasa ragu-ragu dan berusaha membulatkan tekad saya.  
Gambar diambil dari sini

Saya berhenti. I quit. Saya memutuskan untuk mencari peruntungan lain dengan berwirausaha. Apakah saya sanggup? Belum tahu. Apakah ini bagus untuk masa depan saya? Belum tahu. Apakah saya akan sukses? Belum tahu, tapi maunya sih sukses.

Hidup tidak bisa diduga. Siapa yang bisa memprediksi masa depan? Siapa yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa menit berikutnya? Siapa yang bisa mengira bahwa tukang sampah yang menyeret gerobak yang tadi saya lihat ternyata beberapa tahun ke depan akan sukses dan kaya raya? Kesuksesan dan kegagalan seolah hanyalah menjadi bagian dari hidup. Kita tidak akan pernah tahu. Semua tidak bisa diduga. Kita hanya bisa berusaha dan berserah. 
Saya mau memulai sesuatu yang baru dengan keputusan yang saya ambil ini. Keputusan yang berani ini sepertinya barulah langkah awal. Masih banyak yang masih harus saya hadapi dan persiapkan. Sekali lagi saya meyakinkan diri bahwa hidup tidak bisa diduga, karena itu tidak ada salahnya mencoba dan berusaha. Semoga yang terbaik akan Tuhan berikan.
Hidup tidak bisa diduga. Semuanya kejadian yang akan terjadi akan melengkapi dan memberi makna hidup kita.

Api rokok sudah mendekati puntungnya. Saya mencucukkan ujung rokok ke dalam asbak, mematikan apinya. Asap putih menari keluar dari puntung yang apinya padam. Saya seruput hot chocolate yang telah tersaji di hadapan saya.   

4 comments:

  1. Oz...wow, kaget juga bacanya....pray the best 4 u, bro....if it's the best decision, may God lead and open a new way for you...amen... -Marcus-

    ReplyDelete
  2. postingan ini juga gak terduga banget Diyos. kaget banget bacanya, but good luck yah...

    ReplyDelete
  3. R u sure... I dont think.u will

    ReplyDelete