Weekend ini merupakan berakhirnya liburan sekolah bagi para siswa-siswi pelajar. Semua orang tua yang anaknya masih bersekolah saat ini pasti tengah sibuk mengurus pendaftaran sekolah baru, pembelian perlengkapan sekolah, tas, buku, alat tulis, sepatu dan seragam tak luput dari daftar wajib beli para ortu.
Semangat tahun ajaran baru ini dapat terlihat dari penuhnya toko buku dipadati pengunjung beserta anak-anak yang sibuk memilih new stuffs nya untuk dipamerkan di sekolah. Di pusat-pusat keramaian tampak pedagang kaki lima menggelar lapak berisi tumpukkan buku tulis berbagai merk dan berbagai cover. Toko-toko seragam sekolah dipadati oleh Ibu-ibu dan anaknya yang sibuk mengukur seragam sekolah yang pas, memilih-milih topi, dasi, dan mencari-cari atribut-atribut pramuka.
Beberapa hari yang lalu tidak sengaja saya mampir ke sebuah toko buku dan alat tulis. Bukan toko buku terkenal bermerk, hanya toko buku biasa di sekitar pasar tradisional dekat kantor saya. Di dalam toko buku sudah dipenuhi anak-anak didampingi orang tuanya membeli kebutuhan sekolah.
Karena antriannya cukup ramai saya akhirnya terpaksa harus sabar menunggu, padahal niat saya hanya membeli pulpen satu box. Sambil sabar menunggu saya memperhatikan percakapan seorang anak dan ibunya di dalam toko.
Ternyata si anak dan ibunya itu sedang berdebat untuk membeli buku tulis. Si anak merengek ingin buku tulis bergambar Naruto, yang ternyata merupakan tokoh kartun favoritnya. Sedangkan si Ibu bersikeras bahwa gambar cover buku tulis itu tidak penting terlebih buku dengan cover gambar Naruto itu harganya lebih mahal.
"Ya kalo milih Naruto nanti Mamah uangnya nggak cukup buat beli yang laen donk, kan belom beli buku pelajaran juga, beli kaos kaki juga..." omel si Ibu ke anaknya yang masih cemberut. "Itu yang Naruto dikasih berapa pasnya?" tanya si Ibu ke pemilik toko.
"Pasnya segitu Bu nggak bisa kurang lagi, udah murah kok," jawab pemilik toko kalem.
"Ampun gusti, belum beli seragam sekolahnya sama buku pelajarannya..." keluh si Ibu sedih.
Itu sepenggal percakapan yang bisa saya dengarkan selama saya di toko. Tak lama setelah selesai membayar saya pun pergi meninggalkan toko, entah bagaimana kelanjutan dialog antara ibu, anak dan pemilik toko tadi.
Sepanjang perjalanan ke kantor saya membayangkan kalau saat ini pasti banyak dialog serupa di seluruh toko buku. Biasanya orang tua yang resah karena banyaknya kebutuhan sekolah yang harus dibeli dan tidak sebanding dengan dana yang tersedia.
Saya pun pernah mengalami hal demikian sewaktu saya lulus SD dan masuk ke SMP. Karena merasa lulus sekolah, saya menuntut mendapat fasilitas tas baru, sepatu baru, dan buku tulis baru ke orang tua saya. Walaupun saat itu tas dan sepatu saya masih baik-baik saja untuk dipergunakan.
Saat ini saya jadi diingatkan sulitnya menjadi orang tua dalam memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Buku tulis hanyalah salah satu keperluan standar. Seorang siswa di tahun ajaran baru masih harus membeli buku-buku pelajaran sekolah, seragam baru, peralatan tulis, belum lagi membayar kegiatan ekskul, praktikum, dan berbagai biaya-biaya yang akan ditagihkan selama berjalannya proses belajar di sekolah.
Semua masa-masa itu memang sudah saya lewati. Tapi bagi saya semua beban yang dirasakan orang tua murid selalu terulang setiap tahunnya dimana mereka mengeluhkan mahalnya modal yang diperlukan untuk bersekolah. Sekolah semakin lama menjadi komersil seperti sebuah mall raksasa yang siap menguras uang pengunjungnya. Sekolah makin menuntut muridnya untuk cerdas dalam menyerap pelajaran dan menuntut orang tua murid untuk semakin susah payah menyekolahkan anaknya.
untuk para keponakanku yang masih bersekolah : Garda, Givanka, Gradi dan Hera
No comments:
Post a Comment